DAMPAK
PERCERAIAN SUAMI ISTRI BAGI ANAK BALITA
Ketika aku memandang balita yang
tertidur tanpa belaian kasih seorang ibu membuat saya teringat akan masalah
pastoral keluarga. Sebagai seorang katekis petugas pastoral dalam karya pelayanan
umat katolik setiap hari dihadapkan dengan masalah kawin cerai. Mamang
dalam Gereja Katolik sifat perkawinan monogami tak terceraikan.
Tetapi Perceraian menjadi momok yang menakutkan bagi
setiap keluarga. Tak hanya suami-istri saja, perceraian juga menjadi sebuah hal
yang menakutkan bagi anak. Hal ini akan membawa dampak buruk pada kehidupan
seluruh anggota keluarga. Dalam hal ini, anak adalah salah satu yang paling
banyak terkena imbasnya.
Ada banyak sekali penyebab perceraian, antara lain
gagalnya komunikasi, kekerasan dalam rumah tangga, ketidaksetiaan, masalah
ekonomi, hingga pernikahan usia dini. Apa pun alasannya, kedua orangtua perlu
memikirkan matang-matang apa saja dampak yang akan dirasakan keluarga setelah
bercerai.
Kemudian, banyak pertanyaan timbul dari para orangtua
tentang pada usia berapa perceraian orangtua mempunyai dampak buruk yang
sedikit bagi anak? Apakah pada usia balita, anak dianggap belum banyak terpapar
kehidupan orangtuanya, jadi akan lebih mudah dan lebih minimal dampaknya bagi
anak ketika orangtuanya bercerai?
Pada dasarnya, tidak ada “usia terbaik” untuk
bercerai. Dampak negatif perceraian akan selalu dirasakan entah berapa pun usia
anak. Perceraian tetap memberikan dampak psikologis pada anak. Orangtua
setidaknya harus memahami dampak dan kebutuhan anak setelah perceraian.
Pada Balita, dampak perceraian memang seakan tak
terlihat. Banyak orangtua menganggap bahwa pada usia ini anak belum bisa
benar-benar memahami keadaan sekitarnya. Padahal, yang tak terlihat tersebut
justru akan berdampak pada kehidupannya kelak.
Sebagai
orangtua, sudah tugas kita untuk memastikan anak bisa tumbuh dengan baik
layaknya keluarga normal lainnya. Untuk itu, perhatikan beberapa dampak
perceraian pada balita menurut dua tahapan umur.
Pada keluarga normal, usia anak 0 – 2 tahun adalah
masa paling bahagia. Bagaimanapun, buah cinta antara suami dan istri baru saja
menampakkan wajahnya di dunia. Harusnya, kedua orangtua berbahagia menyambut
kedatangan si kecil. Akan tetapi, perpisahan dan perceraian pun bisa terjadi.
Pada usia 0 – 2 tahun, persepsi anak tentang
perceraian belum terlihat. Bayi tentu saja tidak mempunyai kesadaran nyata
tentang perceraian. Dampaknya baru terasa pada kehidupannya kelak, terutama
karena ia tidak dibesarkan dalam rumah seperti keluarga pada umumnya.
Permasalah yang harus dicarikan solusi untuk mendukung
perkembangan optimal anak adalah tentang pembentukan kelekatan khusus. Pada
umumnya, setelah bercerai, ibu atau ayah yang memegang hak asuh akan kembali
bekerja. Waktu yang dihabiskan bersama anak pun akan berkurang. Untuk itu,
setidaknya anak harus mempunyai satu sosok pengasuh utama yang secara terus menerus
melakukan kontak dengan anak. Ini akan membentuk kelekatan awal pada diri anak.
Kehadiran pengasuh bukan untuk menggantikan peran ayah
atau ibu sebagai orangtua. Siapa pun pasti sepakat bahwa menjadi orangtua
tunggal bukanlah hal yang mudah. Kehadiran pengasuh adalah partner terbaik
untuk mendukung perkembangan maksimal anak.
Kelekatan
dalam diri anak menjadi landasan utama untuk mencapai kesejahteraan diri (well-being),
yaitu rasa bahwa anak dicintai dan istimewa. Namun, prospek mempunyai dua
orangtua yang terlibat mengasuh anak pada usia ini menjadi kurang mungkin.
Setelah perceraian, salah satu orangtua sudah tidak berada di rumah secara
teratur. Di sisi lain, ada pihak orangtua yang tidak tinggal bersama anak,
kemudian menikah lagi, dan tidak mempunyai ikatan langsung dengan anak.
Risiko ketika pihak orangtua tidak lagi mempunyai
kontak harian pada usia ini adalah memudarnya sosok orangtua dalam kehidupan
anak. Ayah atau ibu yang kehilangan kontak akan kehilangan kelekatan dan arti
pada diri anak.
Untuk memastikan bahwa anak tetap mendapatkan kasih
sayang yang cukup, ada baiknya Anda dan mantan pasangan tetap menjalin
komunikasi yang baik. Doronglah mantan untuk ikut serta mengasuh anak.
Di sisi lain, pengasuh yang menjadi partner Anda dalam
mengasuh anak sebaiknya mengerti dan benar-benar peduli kebutuhan anak.
Orangtua kedua harus belajar bagaimana memberikan kasih yang sama dengan Anda
untuk si kecil. Dengan begitu, akan lebih aman memercayakan perawatan anak
kepada mereka.
Akhirnya saya mengajak pasangan suami istri (pasutri)
agar mendasarkan keluarga pada semangat keluarga Kudus Nazaret (Yesus Maria dan
Yosep). Hidup ini adalah anugerah Allah. Anak adalah buah cinta suami istri.
Titipan Allah kepada suami istri untuk bekerja sama dengan Allah melahirkan, memelihara,
membesarkan dan membahagiakan anak agar berguna bagi nusa dan bangsa. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar