Jumat, 27 Maret 2020


DAMPAK PERCERAIAN SUAMI ISTRI BAGI ANAK BALITA

            Ketika aku memandang balita yang tertidur tanpa belaian kasih seorang ibu membuat saya teringat akan masalah pastoral keluarga. Sebagai seorang katekis petugas pastoral dalam karya pelayanan umat  katolik setiap hari  dihadapkan dengan masalah kawin cerai. Mamang dalam Gereja Katolik sifat perkawinan monogami tak terceraikan.
Tetapi Perceraian menjadi momok yang menakutkan bagi setiap keluarga. Tak hanya suami-istri saja, perceraian juga menjadi sebuah hal yang menakutkan bagi anak. Hal ini akan membawa dampak buruk pada kehidupan seluruh anggota keluarga. Dalam hal ini, anak adalah salah satu yang paling banyak terkena imbasnya.
Ada banyak sekali penyebab perceraian, antara lain gagalnya komunikasi, kekerasan dalam rumah tangga, ketidaksetiaan, masalah ekonomi, hingga pernikahan usia dini. Apa pun alasannya, kedua orangtua perlu memikirkan matang-matang apa saja dampak yang akan dirasakan keluarga setelah bercerai.
Kemudian, banyak pertanyaan timbul dari para orangtua tentang pada usia berapa perceraian orangtua mempunyai dampak buruk yang sedikit bagi anak? Apakah pada usia balita, anak dianggap belum banyak terpapar kehidupan orangtuanya, jadi akan lebih mudah dan lebih minimal dampaknya bagi anak ketika orangtuanya bercerai?
Pada dasarnya, tidak ada “usia terbaik” untuk bercerai. Dampak negatif perceraian akan selalu dirasakan entah berapa pun usia anak. Perceraian tetap memberikan dampak psikologis pada anak. Orangtua setidaknya harus memahami dampak dan kebutuhan anak setelah perceraian.
Pada Balita, dampak perceraian memang seakan tak terlihat. Banyak orangtua menganggap bahwa pada usia ini anak belum bisa benar-benar memahami keadaan sekitarnya. Padahal, yang tak terlihat tersebut justru akan berdampak pada kehidupannya kelak.
Sebagai orangtua, sudah tugas kita untuk memastikan anak bisa tumbuh dengan baik layaknya keluarga normal lainnya. Untuk itu, perhatikan beberapa dampak perceraian pada balita menurut dua tahapan umur.
Pada keluarga normal, usia anak 0 – 2 tahun adalah masa paling bahagia. Bagaimanapun, buah cinta antara suami dan istri baru saja menampakkan wajahnya di dunia. Harusnya, kedua orangtua berbahagia menyambut kedatangan si kecil. Akan tetapi, perpisahan dan perceraian pun bisa terjadi.
Pada usia 0 – 2 tahun, persepsi anak tentang perceraian belum terlihat. Bayi tentu saja tidak mempunyai kesadaran nyata tentang perceraian. Dampaknya baru terasa pada kehidupannya kelak, terutama karena ia tidak dibesarkan dalam rumah seperti keluarga pada umumnya.
Permasalah yang harus dicarikan solusi untuk mendukung perkembangan optimal anak adalah tentang pembentukan kelekatan khusus. Pada umumnya, setelah bercerai, ibu atau ayah yang memegang hak asuh akan kembali bekerja. Waktu yang dihabiskan bersama anak pun akan berkurang. Untuk itu, setidaknya anak harus mempunyai satu sosok pengasuh utama yang secara terus menerus melakukan kontak dengan anak. Ini akan membentuk kelekatan awal pada diri anak.
Kehadiran pengasuh bukan untuk menggantikan peran ayah atau ibu sebagai orangtua. Siapa pun pasti sepakat bahwa menjadi orangtua tunggal bukanlah hal yang mudah. Kehadiran pengasuh adalah partner terbaik untuk mendukung perkembangan maksimal anak.
Kelekatan dalam diri anak menjadi landasan utama untuk mencapai kesejahteraan diri (well-being), yaitu rasa bahwa anak dicintai dan istimewa. Namun, prospek mempunyai dua orangtua yang terlibat mengasuh anak pada usia ini menjadi kurang mungkin. Setelah perceraian, salah satu orangtua sudah tidak berada di rumah secara teratur. Di sisi lain, ada pihak orangtua yang tidak tinggal bersama anak, kemudian menikah lagi, dan tidak mempunyai ikatan langsung dengan anak.
Risiko ketika pihak orangtua tidak lagi mempunyai kontak harian pada usia ini adalah memudarnya sosok orangtua dalam kehidupan anak. Ayah atau ibu yang kehilangan kontak akan kehilangan kelekatan dan arti pada diri anak.
Untuk memastikan bahwa anak tetap mendapatkan kasih sayang yang cukup, ada baiknya Anda dan mantan pasangan tetap menjalin komunikasi yang baik. Doronglah mantan untuk ikut serta mengasuh anak.
Di sisi lain, pengasuh yang menjadi partner Anda dalam mengasuh anak sebaiknya mengerti dan benar-benar peduli kebutuhan anak. Orangtua kedua harus belajar bagaimana memberikan kasih yang sama dengan Anda untuk si kecil. Dengan begitu, akan lebih aman memercayakan perawatan anak kepada mereka.
Akhirnya saya mengajak pasangan suami istri (pasutri) agar mendasarkan keluarga pada semangat keluarga Kudus Nazaret (Yesus Maria dan Yosep). Hidup ini adalah anugerah Allah. Anak adalah buah cinta suami istri. Titipan Allah kepada suami istri untuk bekerja sama dengan Allah melahirkan, memelihara, membesarkan dan membahagiakan anak agar berguna bagi nusa dan bangsa. Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar